Anak Sagu Menjelma Menjadi Keju dari Timur: Kita Bersuara
SURABAYA, Senin 27 Oktober 2025 – Saya bertempat tinggal di Kota Ternate, tanah kecil di ujung timur yang harum oleh rempah, basah oleh sejarah, dan hangat oleh semangat perjuangan. Di sini, setiap hembusan angin dari laut membawa kisah tentang keteguhan, dan setiap langkah di bawah kaki Gunung Gamalama mengajarkan arti ketulusan. Dari timur, saya belajar bahwa keterbatasan bukanlah dinding, melainkan jembatan menuju mimpi yang lebih tinggi.
Saya tumbuh sebagai anak sagu sederhana, kuat, dan berpijak pada akar tanah tempat saya dibesarkan. Sagu bagi masyarakat timur bukan sekadar makanan pokok; ia adalah simbol ketahanan dan kebersamaan. Dari sesuatu yang tampak sederhana, sesungguhnya lahir kekuatan yang luar biasa. Kini, perjalanan hidup saya adalah tentang menjelma menjadi “keju dari timur” lambang ilmu, mutu, dan daya cipta. Dari tradisi menuju transformasi, dari lokal menuju global, tanpa kehilangan rasa syukur pada tanah asal.
Bagi saya, suara dari timur bukanlah gema yang harus diperdengarkan keras, melainkan nada yang membawa pesan tentang harapan dan perubahan. Kita, anak-anak dari pulau-pulau, bukan sekadar penonton pembangunan negeri; kita adalah bagian dari simfoni itu sendiri. Dari Ternate saya bersuara dengan pengetahuan, dengan hati, dan dengan keyakinan bahwa masa depan Indonesia akan lebih utuh ketika timur juga diberi ruang untuk berbicara.
Namun, keyakinan tidak lahir dari kata-kata kosong. Ia ditempa oleh proses panjang oleh perjalanan, tanggung jawab, dan refleksi diri. Dunia organisasi bagi saya adalah ruang pembelajaran tentang bagaimana ide diubah menjadi aksi, dan bagaimana niat baik diterjemahkan menjadi gerakan kolektif.
Langkah pertama saya dimulai pada tahun 2018 ketika bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ekonomi Universitas Khairun Ternate. Di ruang diskusi sederhana itulah saya mengenal arti berpikir kritis, membangun gagasan, dan berdialog dengan nilai. HMI mengajarkan saya bahwa perjuangan sejati tidak diukur dari seberapa lantang kita berbicara, tetapi seberapa besar manfaat yang kita ciptakan. Dari situ saya belajar bahwa menjadi pemimpin berarti belajar mendengar sebelum berbicara, memahami sebelum menilai, dan menebar kebaikan sebelum menuntut penghargaan.
Setahun kemudian, saya mengemban amanah sebagai Sekretaris Bidang Pengembangan Aparatur Organisasi (PAO) di Himpunan Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan (2019-2020). Pengalaman itu meneguhkan keyakinan saya bahwa keberhasilan organisasi tidak diukur dari banyaknya kegiatan, melainkan dari kokohnya fondasi yang menopangnya. Saya belajar menata sistem bukan untuk kerapian semata, tetapi untuk membangun budaya disiplin dan tanggung jawab. Saya belajar bahwa organisasi yang hidup bukanlah yang paling besar, tetapi yang mampu menjaga keseimbangan antara keteraturan dan kemanusiaan.
Tahun 2020 menjadi salah satu masa ujian paling berharga dalam perjalanan saya. Di tengah suasana penuh ketidakpastian akibat pandemi, saya mendapat amanah untuk memimpin sebagai Ketua Komisi Pemilihan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun Ternate (KPMF-FEB). Situasinya jauh dari mudah proses yang biasanya hangat dengan tatap muka harus dijalankan melalui layar dan jaringan yang tak selalu bersahabat. Namun dari keterbatasan itulah, saya belajar arti tanggung jawab dan kepercayaan.
Saya berusaha memastikan setiap suara mahasiswa tetap memiliki tempat untuk didengar. Transparansi, netralitas, dan partisipasi menjadi kompas yang saya pegang teguh. Dari pengalaman itu, saya menyadari bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa besar kekuasaan yang dimiliki, melainkan dari kemampuan menjaga integritas di tengah tantangan. Bahwa menjadi pemimpin berarti menjaga kepercayaan, bahkan ketika dunia sedang tidak menentu.
Setelah itu, perjalanan saya berlanjut ke tahap yang lebih menantang ketika saya dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (SEKJEN BEM-FEB) 2020-2022. Tugas ini mengajarkan saya untuk bekerja dalam senyap menjadi penggerak di balik layar yang memastikan setiap program berjalan dengan harmonis. Saya belajar bahwa kepemimpinan bukan tentang berdiri paling depan atau disorot paling terang, tetapi tentang memastikan roda organisasi terus berputar, semangat tetap hidup, dan tujuan bersama tercapai.
Langkah berharga lainnya lahir dari ruang kegelisahan intelektual. Bersama beberapa rekan, saya mendirikan Steady ClubOrientasi Pemikir Ekonomi Kritis (OSPEK) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun Ternate. Komunitas ini kami bangun dari keyakinan bahwa mahasiswa ekonomi harus memiliki wadah untuk berpikir kritis, berdialog terbuka, dan menumbuhkan kepekaan terhadap isu kebijakan publik. Dari ruang kecil dan diskusi sederhana, saya belajar bahwa perubahan besar selalu berawal dari ide-ide tulus yang tumbuh dalam suasana kebersamaan dan rasa ingin tahu yang jujur.
Dari seluruh perjalanan itu, saya memahami satu hal: kepemimpinan adalah proses menepi. Menepi untuk memberi ruang bagi orang lain bersinar, menepi agar cahaya bersama tidak padam. Itulah nilai yang ingin saya bawa ketika kini berdiri di hadapan keluarga besar Awardee LPDP Universitas Airlangga bukan sebagai seseorang yang ingin dikenal, tetapi sebagai seseorang yang ingin memberi makna.
Menjadi calon Lurah LPDP UNAIR Priode 2025-2026 bagi saya bukan tentang jabatan, tetapi tentang tanggung jawab moral: menciptakan ruang kolaborasi yang inklusif, membangun solidaritas antarpenerima beasiswa, dan menyalakan semangat kontribusi untuk negeri. Karena saya percaya, dari timur pun bisa lahir cahaya; dari anak-anak sagu pun bisa tumbuh pemimpin yang berjiwa keju berilmu, berintegritas, dan berdaya cipta.Ketika anak-anak sagu mulai bersuara, Indonesia akan mendengar. Dan dari timur, kita akan terus berbicara bukan untuk didengar semata, tetapi untuk menggerakkan perubahan.
Baca Berita Menarik Lainnya Di Google News